Senin, 19 Mei 2014

Menjadi Guru : Menginvestasikan Hidup untuk Dunia & Akhirat.


"Terpujilah wahai engkau, ibu bapak guru
namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir didalam hatiku
sbagai prasasti trima kasihku tuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
membangun insan cendekia. . . ."

Nama saya Siti Fatimah
Usia saya sekarang adalah 22 tahun 6 bulan 26 hari. ^_^ Hmm masih boleh disebut gadis muda ngga yaa, aah rasanya ngga berlebihan dech klo saya masih ingin sebutan itu, hehe.
Hari-hari saya habiskan dengan menjadi seorang pengasuh anak. Tidak sibuk sama sekali, malah terasa begitu sangat menyenangkan. Setiap detik yang selalu saya syukuri, berbagi kehidupan dengan mereka, anak-anak penerus bangsa. Ya, bahasa kerennyaa pendidik, seorang "guru".
Empat bulan sudah saya berhak menyebut diri saya seorang guru. Seperti lirik lagu Hymne Guru karya Sartono (Seorang guru yang sampai masa pensiunnya tiba tetap menyandang status sebagai guru honorer yang rata-rata gajinya kala itu hanya Rp. 60.000 per bulan), menjadi seorang guru adalah profesi paling mulia. Maka sudah seharusnya saya bersyukur atas tempat yang Allah pilihkan ini.
Masih ingat betul ketika dulu (tahun 2009), sebelum menempuh ujian nasional (UN), Ibu Cecilia, guru Kimia saya sewaktu di SMA pernah bertanya tentang rencana saya mengambil prodi di jenjang perguruan tinggi. Saya jawab "Masuk pendidikan guru, bu. Pengen jadi guru SD..." Beliau hanya tersenyum, kemudian berkata, "Yakin? Padahal bisa lhoo jadi guru SMP atau SMA kayak ibu misalnya. Jadi guru SD gajinya kecil, penghargaan dari pemerintah masih sangat kurang..."
Sebenarnya yakin ngga yakin sich, tapi hmmmm dulu kira-kira begini alasan saya.
Saya merasa Allah telah berbaik hati mempertemukan saya dengan guru-guru hebat yang luar biasa, ketika saya di SMP dan SMA. Bukan berarti di SD saya ngga punya guru yang hebat yaa, tapi ketika di SMP dan SMA-lah saya benar-benar merasa 'memiliki'.
Ada Bu Hasyidah, guru matematika. Jazakillah bu...
Juga Bu Sativa, wali kelas saya sewaktu di 3D sekaligus guru ekonomi. Jazakillah ibu..
Masih ada satu lagi, Pak Ganjar. Beliau guru fisika, jazakallah pak..
Dan untuk semua guru SMP saya kala itu, jazakallah.
Lalu ketika di SMA, ada Bu Cecil, Bu Eneng, Bu Nina, Bu Tuti, Pak Suparman, Pak Budhi, Pak Tatang, Pak Ali, Bu Dati, Bu Lia, Pak Asep, Pak Jaja, Pak Subechi, Bu Enung, Bu Dhinar, Pak Dikdik, sama Mang Ukar (penjaga sekolah) dan masih banyak lagi pokoknya. Buat semuanya bapak ibu guru saya ucapkan jazakallah :)
Ngga ketinggalan donk, semua guru-guru SD saya. Jazakallah bapak dan ibu guru.....
Mendapati mereka mewarnai hari-harinya dengan begitu indah membuat saya bertekad untuk melakukan hal yang sama. Tapi kenapa guru SD, itu karena pernah ada yang mengatakan ini "Gerabah akan bernilai tinggi ketika dia berhasil melewati proses pembakarannya, tapi rahasia pembakaran itu justru terletak pada saat gerabah itu dicetak oleh pengrajinnya. Jika proses pembakaran diibaratkan tugas dan peranan guru-guru SMP dan SMA, maka proses pencetakannya adalah milik guru-guru SD"
Sampai saat ini, kalimat itu selalu terngiang-ngiang ditelinga saya.
Walaupun pada akhirnya saya tahu pembuatan gerabah tidak hanya tentang pencetakan dan pembakaran. Tapi bukan itu intinya, apa yang telah diucapakannya ke saya, itu cukup memberi saya alasan tentang apa yang akan saya lakukan, hal apa yang akan saya perjuangkan, masa depan seperti apa yang saya inginkan.
Jika Allah berbaik hati mempertemukan saya dengan guru-guru yang luar biasa kala saya di SMP dan SMA, maka saya akan berjuang untuk menjadi yang disyukuri kehadirannya dihidup anak-anak saya di pendidikan dasar (SD). Karena akan sangat menyenangkan bukan jika guru-guru hebat seperti mereka juga bisa kita temui bahkan sejak kita SD, ^_^

"Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka berbicara dengan  tutur kata yang benar." (QS. An-Nisa, 4: 9)